BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
LANSIA
Periode selama
usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “ senescence ” yaitu masa proses menjadi tua. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup
seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari
periode terdahulu.
Didalam “ gerontology ” ( ilmu yang mempelajari lanjut usia ) lanjut usia dibagi menjadi dua
golongan, yaitu “ young old ” ( 65-74 ) dan “ old-old ” ( diatas 75 tahun ). Dari kesehatan mereka dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok “ well old ” ( mereka yang sehat dan tidak sakit apa-apa ) dan “ sick old ”
( mereka
yang menderita penyakit
dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris ). Kebutuhan akan kesehatan bagi kelompok “ sick
old ” ini semakin besar, sehingga didunia kedokteran berkembang spesialisasi
yang dinamakan “ geriatry ” baik dari aspek medis ( fisik ) maupun kejiwaan ( psikiatris ).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lansia / jompo berarti “ tua sekali
atau sudah lemah fisiknya, tua renta, atau uzur ”.[1]
Lansia dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif
lagi, kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah
uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogoti mereka. Kondisi di usia tua
menyebabkan manusia usia lanjut senantiasa dibayang-bayangi oleh perasaan tak
berdaya dalam menghadapi kematian. Dan rasa takut akan kematian ini semakin
meningkat pada usia tua.[2]
Eric Ericson menyatakan bahwa manusia lanjut usia ( manula ) berada pada tahapan terakhir dari
tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan sebagai konflik antara integritas ( yaitu rasa puas ) yang tercermin selama hidup
yang tidak berarti.
Lanjut
usia sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan kepuasan dari
hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan cucu, merasa
bahagia karena telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya. Bagi para lanjut
usia hendaknya mampu mengatasi cidera “ narcissism ” ( kecintaan pada
diri sendiri ), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau
perhatian dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu
memelihara dan mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang, cemas,
takut, kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya.
Terjadi
konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta
penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh sebelumnya.
Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
B. PERKEMBANGAN
AGAMA PADA LANSIA
Garizatu At-Tadayyun
( insting beragama ) atau Garizatu At-Taqdis ( insting pensakralan )
merupakan insting bawaan sebagai karakter inheren penciptaan yang permanen.
Insting ini ditandai ada perasaan lemah pada dirinya. Perasaan lemah ini
meskipun ditutup-tutupi dengan berbagai potensi lainnya seperti potensi
mempertahankan diri, tetapi tetap muncul, sebab kelemahan manusia merupakan
fitrah pula, sebagaimana firmannya :
وَخُلِقَ
الإنْسَانُ ضَعِيفًا (٢٨)........
Artinya : “ ............... dan
manusia dijadikan bersifat lemah “. ( Q. S. An-Nisa’ : 28 ).
Memang terkadang muncul perasaan kuat, tetapi sifatnya sementara, manusia
diliputi keadaan lemah baik perubahan fisik, dan psikis ketidakberdayaannya
mempertahankan umurnya sendiri dan perubahan sel-sel yang menua. Indikasi ini
dapat dilihat pada ayat berikut :
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ
ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ (٥٤)
Artinya : “ Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah,
kemudian Dia menjadikan ( kamu ) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,
kemudian Dia menjadikan ( kamu ) sesudah kuat itu lemah ( kembali ) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui
lagi Maha Kuasa “. ( Q. S. Ar-Ruum : 54 ).
Dari perasaan lemah yang permanen itu muncul keinginan manusia untuk
tergantung pada sesuatu dan ketergantungan itu dapat berwujud pada perilaku
membutuhkan sesuatu pada dirinya yang kuat, semacam “ hero ”, ingin
mengagungkan sesuatu, mengabdikan pada diri kepada yang dianggap memiliki
kekuatan, atau mensakralkan sesuatu.[3]
Pada usia lanjut, yaitu setelah usia diatas 65 tahun manusia akan
menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan
kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami
gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari
kondisi penurunan kemampuan fisik ini menyebabkan mereka yang berada pada usia
lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga atau kurang dihargai. Hasil
penelitian Neugartten ( 1971 ) masalah utama yang dihadapi manusia usia lanjut
antara 70-79 tahun menunjukkan 75 persen dari mereka yang dijadikan responden
menyatakan puas dengan status mereka sesudah menginjak masa beban tugas.
Sebagian besar mereka menunjukkan aktivitas positif dan tidak merasa dalam
keterasingan dan hanya sedikit yang sudah berada dalam kondisi uzur serta
mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, umumnya mereka dihadapkan pada konflik
batin antar keutuhan dan keputusan. Karena itu mereka cenderung mengingat
sukses masa lalu, sehingga umumnya mereka yang berada pada tingkat usia lanjut
ini senang membantu para remaja yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial,
termasuk sosial keagamaan.
Proses
perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi
lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua,
sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada
usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan menghadapi berbagai persoalan.
Persoalan awal dapat digambarkan sebagai berikut :
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampan fisik à aktivitas menurun à sering mengalami gangguan kesehatan à mereka cenderung kehilangan semangat.[4]
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi
agama ternyata meningkat. M. Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan
oleh Cavan yang mempelajari 1200 orang sampel berusia antara 60-100 tahun.
Temuan ini menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat
keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini. Sedangkan, pengakuan
terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100 % setelah
usia 90 tahun.
Dalam banyak hal, tak jarang para ahli psikologi menghubungkan
kecenderungan peningkatan kehidupan keagamaan dengan penurunan kegairahan
seksual. Menurut pendukung pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi
dibidang seksual, sejalan dengan penurunan kemampuan fisik dan frustasi semacam
itu dinilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Tetapi
menurut Robert H. Thoules, pendapat tersebut berlebih-lebihan. Sebab katanya,
hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kegiatan seksual secara biologis
boleh jadi sudah tidak ada lagi pada usia lanjut, namun kebutuhan untuk
mencintai dan mencintai tetap ada pada usia tua itu.[5]
Ada beberapa
pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan sikap keagamaan pada manusia
di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut :
1.
Seringkali kecenderungan
meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan
kegairahan seksual.
Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang
seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai
sebagai satunya-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Pendapat ini
disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat tersebut
dilebih-lebihkan.
2.
Menurut William James, usia
keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia lanjut, ketika
gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut diatas sejalan
dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia lanjut yang semakin tekun
beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat
kelak.
3.
Dalam penelitian lain menyatakan
bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut diantaranya adalah
depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle
A. Cohen.
C. CIRI-CIRI KEAGAMAAN PADA LANSIA
Secara garis besar ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut adalah :
1.
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut
sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.
Meningkatnya kecenderungan untuk
menerima pendapat keagamaan.
3.
Mulai muncul pengakuan terhadap
realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.
Sikap keagamaan cenderung mengarah
kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.
Timbul rasa takut kepada kematian
yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.
Perasaan takut kepada kematian ini
berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap
adanya kehidupan abadi ( akhirat ).
D. KEADAAN KEMATANGAN KEAGAMAAN PADA LANSIA
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan
dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama
yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Seseorang yang matang
dalam beragama bukan hanya memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan
kadang-kadang dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika
kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah
laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa
tanggung jawab, bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena
tingkat kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan individu, hal itu
memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan beragama tidak terjadi
secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan hambatan[6]
:
1.
Faktor diri
sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua :
kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini merupakan ilmiah ( rasio ) dalam
menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang
berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan
rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut
dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, walaupun apa yang harus
dilakukan itu berbeda dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat
mereka.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman
seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam
mengerjakan aktivitas keagamaan. Namun, bagi mereka yang mempunyai pengalaman
sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu
dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara
mantap dan stabil.
2.
Faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa
kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk
berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa
yang telah ada. Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau
pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan
berjalan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya,
kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak
pernah selesai. Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui dari mana asal-usul
dan sebab-musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.
Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu
dikembangkan dan dilestarikan. Namun pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi
tertentu yang perlu penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan
kontradiktif pada sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan
kenyataan yang berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil telah
dicekam oleh tradisi yang kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal
itu akan mempengaruhi terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang
akan datang. Oleh sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga
yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kehidupan beragama
seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang
lebih sempurna. Namun, jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang
lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarahkan ke arah yang lebih baik dan
sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck,
sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James, mengemukakan dua faktor yang
mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
a.
Faktor intern, terdiri dari :
1)
Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting
dalam sikap beragama seseorang. Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dyspastis dalam sikap dan
pandangannya terhadap agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi
seseorang dalam kematangan beragama.
2) Gangguan jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam
sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan
seseorang yang ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
3) Konflik dan
keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang
terhadap agama, seperti taat, fanatik, agnostik, maupun atheis.
4) Jauh dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah
dan kehilangan pegangan hidup,terutama saat menghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan kejiwaan dalam
beragama sebagai berikut :
a) Pesimis.
b) Introvert.
c) Menyenangi paham
yang ortodoks.
d) Mengalami proses
keagamaan secara graduasi.
b. Faktor ekstern
yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah :
1) Musibah
Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan
seseorang, dan keguncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya
kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
2) Kejahatan
Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami
guncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan
kompensif, seperti melupakan dengan berfoya-foya dan sebagainya. Dapat pula
orang tersebut melampiaskannya dengan tindakan brutal, pemarah dan sebagainya. Sering
pula perasaan
yang fitri menghantui
dirinya, yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.
Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan
agama antara lain :
a) Optimisme dan
gembira.
b) Ekstrovert dan
tidak mendalam.
c) Menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal.
Pengaruh kepribadian yang
ekstrovert, maka mereka cenderung :
a) Menyenangi
teologi yang luwes dan tidak kaku.
b) Menunjukkan
tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c) Menekankan
ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d) Mempelopori
pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
e) Tidak menyenangi
implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f) Bersifat liberal
dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
g) Selalu
berpandangan positif.
h) Berkembang secara
graduasi.
E. PERLAKUAN
TERHADAP LANSIA MENURUT ISLAM
Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan
pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan
yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapapun, melainkan menjadi
tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta
kasih sayang yang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela
dinilai sebagai kedurhakaan.
Adapun dalil Al-Qur’an yang berkenaan dengan perlakuan kepada orang tua
diantaranya sebagai berikut :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ
لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا (٢٣) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ
مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)
Artinya : “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan " ah " dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia (23). Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : " Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil " (24). ( Q. S. Al-Isra’ : 23-24 )
Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana seharusnya perilaku anak
kepada orang tua, dalam pernyataan Aisyah R.A. yakni dalam dialog Rasulullah
SAW. Kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya : “ Siapakah yang bersamamu ? Orang
itu menjawab : “ Ayahku ”. Beliau berkata : “ Jangan berjalan di
depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan
jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya ”. ( Thoha
Abdullah Al-Afifi : 1987 : 51 )
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut
menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang
durhaka bila seorang anak tega menempatkan orangtuanya di tempat penampungan
atau panti jompo. Alasan apapun tak dapat diterima bagi perlakuan itu.
Menurut Lita
L. Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut ( 70-79 tahun ) menyatakan tidak merasa dalam
keterasingan dan masih menunjukkan aktivitas yang positif. Tetapi perasaan itu
muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.
Kajian
psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian
mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan
pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia ini, perhatian
mereka tertuju kepada upaya menemukan ketenangan bathin. Sejalan dengan
perubahan itu maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat
mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan
orientasi ini diantaranya disebabkan oleh psikologis. Di satu pihak kemampuan
fisik pada usia lanjut sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipihak lain
memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah
diperoleh sedang tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka
dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan
kegelisahan-kegelisahan bathin.
Apabila
gejolak-gejolak tidak dapat dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan,
seperti : stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai
wujud rasa rendah diri. Dalam kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan
dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengalaman agama,
manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat
pensiunan seperti ini sudah banyak terlihat diakhir-akhir ini.
F.
CARA BERSIKAP PADA LANSIA
Dalam
lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para manusia
usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka di panti jompo. Di
panti ini
para manusia usia lanjut
itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga,
umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak
berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para
manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi
keluarga Barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka ke panti jompo
merupakan cerminan dari kasih sayang anak kepada orang tua. Sebaliknya,
membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga
cenderung dianggap sebagai menelantarkannya.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia usia
lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua
yang berusia lanjut, dibebankan kepada keluarga mereka, bukan kepada badan atau
panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut
tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara
khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak
mereka dengan kasih sayang.
Perlakuan
kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut
Ibnu Abbas, Rasulullah SAW. Pernah mengatakan : “ Barang siapa membuat ridha
kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu
syurga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah satu diantaranya maka akan
terbuka satu pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah
kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika
membuat marah salah satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka ”.
( Thoha
Abdullah Al-Afifi,
1987 : 53 ).[7]
Bahkan ketika
mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati
mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya, maka Rasulullah SAW. Pun
bersabda : “ Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu “. ( Thoha
Abdullah Al-Afifi, 1987, 54-55 ).
Penjelasan
ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam
merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan orang tua dipanti jompo
merupakan tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang anak.
[1]
DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2007
), cet. 7, hal. 476
[2]
Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2012 ), hal. 115
[3]
Drs. Yadi Purwanto, MM., Psi, Psikologi Kepribadian : Integrasi Nafsiyah dan
‘Aqliyah Perspektif Psikologi Islam, ( Bandung : PT. Refika Aditama, 2007
), hal. 114-115
[4]
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004 ),
hal. 88
[5]
Prof. Dr. H. Jalaluddin, Op. Cit, hal. 110-111
[6]
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004 ),
hal. 92-97
[7]
Prof. Dr. H. Jalaluddin, Op. Cit, hal. 117-121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar