Selasa, 31 Maret 2015

Makalah Psikologi Agama : Perkembangan Agama Pada Lansia



BAB II
PEMBAHASAN
                                                                                   
A.    PENGERTIAN LANSIA
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai senescence yaitu masa proses menjadi tua. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu.
Didalam gerontology ” ( ilmu yang mempelajari lanjut usia ) lanjut usia dibagi menjadi dua golongan, yaitu young old ( 65-74 ) dan old-old ” ( diatas 75 tahun ). Dari kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok “ well old ( mereka yang sehat dan tidak sakit apa-apa  ) dan sick old ” ( mereka yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris ). Kebutuhan akan kesehatan bagi kelompok sick old ini semakin besar, sehingga didunia kedokteran berkembang spesialisasi yang dinamakan geriatry baik dari aspek medis ( fisik ) maupun kejiwaan ( psikiatris ).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lansia / jompo berarti “ tua sekali atau sudah lemah fisiknya, tua renta, atau uzur ”.[1] Lansia dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi, kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogoti mereka. Kondisi di usia tua menyebabkan manusia usia lanjut senantiasa dibayang-bayangi oleh perasaan tak berdaya dalam menghadapi kematian. Dan rasa takut akan kematian ini semakin meningkat pada usia tua.[2]
Eric Ericson menyatakan bahwa manusia lanjut usia ( manula ) berada pada tahapan terakhir dari tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan sebagai konflik antara integritas ( yaitu rasa puas ) yang tercermin selama hidup yang tidak berarti.
Lanjut  usia sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan kepuasan dari hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan cucu, merasa bahagia karena telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya. Bagi para lanjut usia hendaknya mampu mengatasi cidera “ narcissism ” ( kecintaan pada diri sendiri ), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau perhatian dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu memelihara dan mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang, cemas, takut, kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya.
Terjadi konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh sebelumnya. Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.

B.    PERKEMBANGAN AGAMA PADA LANSIA
Garizatu At-Tadayyun ( insting beragama ) atau Garizatu At-Taqdis ( insting pensakralan ) merupakan insting bawaan sebagai karakter inheren penciptaan yang permanen. Insting ini ditandai ada perasaan lemah pada dirinya. Perasaan lemah ini meskipun ditutup-tutupi dengan berbagai potensi lainnya seperti potensi mempertahankan diri, tetapi tetap muncul, sebab kelemahan manusia merupakan fitrah pula, sebagaimana firmannya :
وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا (٢٨)........
Artinya : “ ............... dan manusia dijadikan bersifat lemah “. ( Q. S. An-Nisa’ : 28 ).

Memang terkadang muncul perasaan kuat, tetapi sifatnya sementara, manusia diliputi keadaan lemah baik perubahan fisik, dan psikis ketidakberdayaannya mempertahankan umurnya sendiri dan perubahan sel-sel yang menua. Indikasi ini dapat dilihat pada ayat berikut :
  اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ (٥٤)
Artinya : “ Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan ( kamu ) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan ( kamu ) sesudah kuat itu lemah ( kembali ) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa “. ( Q. S. Ar-Ruum : 54 ).

Dari perasaan lemah yang permanen itu muncul keinginan manusia untuk tergantung pada sesuatu dan ketergantungan itu dapat berwujud pada perilaku membutuhkan sesuatu pada dirinya yang kuat, semacam “ hero ”, ingin mengagungkan sesuatu, mengabdikan pada diri kepada yang dianggap memiliki kekuatan, atau mensakralkan sesuatu.[3]
Pada usia lanjut, yaitu setelah usia diatas 65 tahun manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari kondisi penurunan kemampuan fisik ini menyebabkan mereka yang berada pada usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga atau kurang dihargai. Hasil penelitian Neugartten ( 1971 ) masalah utama yang dihadapi manusia usia lanjut antara 70-79 tahun menunjukkan 75 persen dari mereka yang dijadikan responden menyatakan puas dengan status mereka sesudah menginjak masa beban tugas. Sebagian besar mereka menunjukkan aktivitas positif dan tidak merasa dalam keterasingan dan hanya sedikit yang sudah berada dalam kondisi uzur serta mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, umumnya mereka dihadapkan pada konflik batin antar keutuhan dan keputusan. Karena itu mereka cenderung mengingat sukses masa lalu, sehingga umumnya mereka yang berada pada tingkat usia lanjut ini senang membantu para remaja yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, termasuk sosial keagamaan.
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan menghadapi berbagai persoalan. Persoalan awal dapat digambarkan sebagai berikut :
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampan fisik à aktivitas menurun à sering mengalami gangguan kesehatan à mereka cenderung kehilangan semangat.[4]
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M. Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Cavan yang mempelajari 1200 orang sampel berusia antara 60-100 tahun. Temuan ini menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini. Sedangkan, pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100 % setelah usia 90 tahun.
Dalam banyak hal, tak jarang para ahli psikologi menghubungkan kecenderungan peningkatan kehidupan keagamaan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendukung pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dibidang seksual, sejalan dengan penurunan kemampuan fisik dan frustasi semacam itu dinilai sebagai satu-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Tetapi menurut Robert H. Thoules, pendapat tersebut berlebih-lebihan. Sebab katanya, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kegiatan seksual secara biologis boleh jadi sudah tidak ada lagi pada usia lanjut, namun kebutuhan untuk mencintai dan mencintai tetap ada pada usia tua itu.[5]
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut :
1.    Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satunya-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat tersebut dilebih-lebihkan.
2.    Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.
3.    Dalam penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A. Cohen.

C.     CIRI-CIRI KEAGAMAAN PADA LANSIA
Secara garis besar ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut adalah :
1.    Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.    Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.    Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.    Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.    Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.    Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi ( akhirat ).

D.    KEADAAN KEMATANGAN KEAGAMAAN PADA LANSIA
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Seseorang yang matang dalam beragama bukan hanya memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab, bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan individu, hal itu memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan hambatan[6] :
1.    Faktor diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua : kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini merupakan ilmiah ( rasio ) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, walaupun apa yang harus dilakukan itu berbeda dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat mereka.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktivitas keagamaan. Namun, bagi mereka yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.
2.    Faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai. Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui dari mana asal-usul dan sebab-musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.
Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu dikembangkan dan dilestarikan. Namun pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang perlu penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan kontradiktif pada sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan kenyataan yang berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil telah dicekam oleh tradisi yang kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kehidupan beragama seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang lebih sempurna. Namun, jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarahkan ke arah yang lebih baik dan sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James, mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
a.      Faktor intern, terdiri dari :
1)      Temperamen
Tingkah laku  yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang. Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dyspastis dalam sikap dan pandangannya terhadap agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
2)      Gangguan jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan seseorang yang ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
3)      Konflik dan keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatik, agnostik, maupun atheis.
4)      Jauh dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup,terutama saat menghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut :
a)      Pesimis.
b)      Introvert.
c)      Menyenangi paham yang ortodoks.
d)      Mengalami proses keagamaan secara graduasi.
b.      Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah :
1)      Musibah
Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang, dan keguncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
2)      Kejahatan
Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan kompensif, seperti melupakan dengan berfoya-foya dan sebagainya. Dapat pula orang tersebut melampiaskannya dengan tindakan brutal, pemarah dan sebagainya. Sering pula perasaan yang fitri menghantui dirinya, yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.
Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain :
a)      Optimisme dan gembira.
b)      Ekstrovert dan tidak mendalam.
c)      Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.
Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung :
a)      Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
b)      Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c)      Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d)      Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
e)      Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f)       Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
g)      Selalu berpandangan positif.
h)      Berkembang secara graduasi.

E.     PERLAKUAN TERHADAP LANSIA MENURUT ISLAM
Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapapun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang yang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Adapun dalil Al-Qur’an yang berkenaan dengan perlakuan kepada orang tua diantaranya sebagai berikut :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا (٢٣) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)

Artinya : “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan " ah " dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia (23). Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : " Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil " (24). ( Q. S. Al-Isra’ : 23-24 )

Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana seharusnya perilaku anak kepada orang tua, dalam pernyataan Aisyah R.A. yakni dalam dialog Rasulullah SAW. Kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya : “ Siapakah yang bersamamu ? Orang itu menjawab : “ Ayahku ”. Beliau berkata : “ Jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya ”. ( Thoha Abdullah Al-Afifi : 1987 : 51 )
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang durhaka bila seorang anak tega menempatkan orangtuanya di tempat penampungan atau panti jompo. Alasan apapun tak dapat diterima bagi perlakuan itu.
Menurut Lita L. Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut ( 70-79 tahun ) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktivitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia ini, perhatian mereka tertuju kepada upaya menemukan ketenangan bathin. Sejalan dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantaranya disebabkan oleh psikologis. Di satu pihak kemampuan fisik pada usia lanjut sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipihak lain memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah diperoleh sedang tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan bathin.
Apabila gejolak-gejolak tidak dapat dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan, seperti : stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah banyak terlihat diakhir-akhir ini.

F.     CARA BERSIKAP PADA LANSIA
Dalam lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka di panti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari kasih sayang anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan kepada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang.
Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut Ibnu Abbas, Rasulullah SAW. Pernah mengatakan : “ Barang siapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu syurga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah satu diantaranya maka akan terbuka satu pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika membuat marah salah satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka . ( Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987 : 53 ).[7]
Bahkan ketika mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya, maka Rasulullah SAW. Pun bersabda : Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu “. ( Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987, 54-55 ).
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan orang tua dipanti jompo merupakan tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang anak.


[1] DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2007 ), cet. 7, hal. 476
[2] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012 ), hal. 115
[3] Drs. Yadi Purwanto, MM., Psi, Psikologi Kepribadian : Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah Perspektif Psikologi Islam, ( Bandung : PT. Refika Aditama, 2007 ), hal. 114-115
[4] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004 ), hal. 88
[5] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Op. Cit, hal. 110-111
[6] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004 ), hal. 92-97
[7] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Op. Cit, hal. 117-121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar